Wahyu Terakhir dalam al-Qur’an
Topik dalam
wahyu terakhir al-Qur’an, Allah Maha Bijaksana memilih kembali pada topik yang
telah dibahas dalam wahyu sebelumnya – dalam al-Qur’an juga dalam Taurat,
Zabur, dan Injil – yakni larangan Riba. Dari Hadits, kita dapat mengetahui
bahwa wahyu terakhir yang diterima Nabi yang diberkahi (shollallahu ‘alayhi wassalam) beberapa waktu sebelum kematiannya, adalah ayat-ayat dalam surat al-Baqarah
(2: 279-281) yang membahas Riba:
“Umar bin
Khattab berkata: Ayat terakhir yang diturunkan berkenaan dengan Riba, tetapi
Rasul Allah meninggal tanpa menjelaskannya secara terperinci kepada kami; maka jauhilah
Riba dan juga Ribah (yakni apapun yang menimbulkan keraguan dalam pikiran berkenaan
dengan kebenarannya).” (Sunan Ibnu Majah; Darimi)
“Ibnu Abbas
berkata: Wahai orang-orang beriman, takutlah pada Allah dan jauhilah sisaRiba
(mulai dari sekarang) jika kalian sungguh-sungguh beriman… dan tidak seorang
pun yang akan dihakimi dengan tidak adil. (al-Baqarah, 2: 279-281). Ibnu Abbas berkata:
Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan kepada Nabi.” (Sahih Bukhari)
Wahyu terakhir
menegaskan aturan Nabi tentang larangan Riba dalam Khotbah al-Wada’ (Khotbah Perpisahan) di ‘Arafat. Wahyu terakhir adalah ayat-ayat dari al-Qur’an
berikut ini. Kami menyebutkan keseluruhan ayat dengan penafsiran kami dalam
ukuran huruf yang lebih kecil:
“Orang-orang yang membelanjakan hartanya pada siang
dan malam hari, secara rahasia ataupun terbuka, mereka mendapat pahala dari
sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih
hati.” (asalkan kekayaan dibelanjakan dengan cara yang Halal,
suatu pengeluaran yang akan menstimulus kegiatan ekonomi dan meletakkan
kekayaan pada peredaran).“(Di sisi lain) Orang-orang yang memakan Riba tidak akan berdiri (di
hadapan Allah pada Hari Kebangkitan) melainkan seperti berdirinya orang gila
karena sentuhan setan.” (hal ini karena
Riba merupakan lawan dari ‘pembelanjaan atau pengeluaran’ – dalam Riba kekayaan
‘dihisap’ dari kegiatan ekonomi hingga masyarakat luas jatuh dalam kemiskinan
dan kemelaratan.)
“Yang demikian itu karena mereka mengatakan bahwa
bisnis jual beli dan Riba adalah sama.” (mereka
berargumen bahwa ‘memberikan pinjaman uang dengan bunga’ adalah bentuk bisnis
yang sah). “Padahal Allah
telah menghalalkan bisnis jual beli dan mengharamkan Riba.” (Argumen mereka salah. Allah telah menghalalkan bisnis jual beli tetapi
telah mengharamkan Riba. Dan dengan begitu, Riba bukanlah suatu bentuk bisnis. Ini
karena sifat dasar dari transaksi bisnis yang sah adalah harus mengakui kemungkinan
mendapat untung atau rugi. Saat uang dipinjamkan dengan bunga, kemungkinan rugi
begitu diminimalkan bahkan hampir dihilangkan! Dengan demikian, memberikan
pinjaman uang dengan bunga tidak dapat memenuhi syarat sebagai suatu transaksi
bisnis).
“Barang siapa menerima peringatan (ini) dari Tuhan-nya
lalu dia langsung berhenti (dari Riba), maka apa yang telah diperolehnya dahulu
(Riba yang sebelumnya dia terima) urusannya terserah pada Allah.” (yakni terserah Allah untuk menghakimi dia – dia tidak akan dipaksa oleh
Negara Islam untuk mengembalikan Riba yang telah dia ambil). “Tetapi barang siapa yang kembali
pada itu (tetap dalam Riba, contohnya yaitu memberikan pinjaman
uang dengan bunga, setelah turunnya ayat al-Qur’an ini), maka mereka itu penghuni neraka,
mereka kekal di dalamnya!”
“(Dan dengan ini) Allah memusnahkan Riba, tetapi Dia
menyuburkan sedekah dengan peningkatan yang berlipat-lipat.” (karena sifat inti dari Riba adalah ‘mengambil’ dan tidak ‘memberikan’
apapun sebagai balasannya, sedangkan sifat inti dari sedekah adalah ‘memberi’
dan tidak ‘mengambil’ apapun sebagai balasan).
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang dengan
keras kepala tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.” (dengan perbuatan dosa khususnya mengkonsumsi Riba).
“Sungguh, orang-orang yang beriman dan berperilaku
saleh, dan tetap menjaga sholat, dan menunaikan zakat, mereka akan mendapat
pahala dari Tuhan mereka, dan mereka tidak perlu takut, dan tidak perlu
bersedih.”
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah pada
Allah dan tinggalkanlah sisa Riba yang belum diambil (yang kalian masih mengklaim sebagai hak kalian) jika kalian benar-benar beriman.”
“Jika kalian tidak melaksanakannya (jika kalian tetap meminjamkan uang dengan bunga bahkan setelah menyatakan
diri kalian Muslim) maka
waspadalah terhadap (pernyataan) perang dari Allah dan Rasul-Nya.” (waspadalah bahwa umat Muslim yang taat pada Islam akan memerangi kalian
untuk membebaskan semua orang yang tertindas karena Riba).
“Tetapi jika kalian bertobat (jika kalian berhenti dari Riba) maka kalian mendapatkan (kalian berhak mengklaim) hanya jumlah pokoknya saja.” (yang telah kalian pinjamkan yakni kalian hanya mendapatkan jumlah pokoknya
saja – bukan jumlah pokok ditambah sejumlah bunga, atau bukan jumlah pokok ditambah
biaya layanan administrasi).
“Janganlah berlaku zalim (tidak adil) maka kalian
tidak akan dizalimi (diperlakukan dengan tidak adil).” (Dalam menerima pembayaran hutang hanya jumlah pokoknya saja maka kalian akan
membebaskan diri kalian dari dosa karena berlaku tidak adil terhadap orang
lain, dengan melepaskan bunganya, maka kalian pun tidak akan diperlakukan oleh
bentuk ketidakadilan apapun.)
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesulitan,
maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kemudahan untuk membayar
hutangnya. Tetapi jika kalian mengampuninya (jika kalian menghapus hutangnya)
sebagai sedekah, maka itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”
“Dan takutlah pada hari ketika kalian (semua manusia
termasuk yang memakan Riba) dikembalikan pada Allah, kemudian setiap orang
diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan
tidak ada orang yang akan dizalimi (diperlakukan dengan tidak adil).” (al-Qur’an,
al-Baqarah, 2: 274-281)
Mengapa Allah
Maha Bijaksana memutuskan untuk menurunkan satu lagi wahyu pada beberapa waktu
sebelum kematian Nabi (shollallahu
‘alayhi wassalam) ? Mengapa Dia memilih waktu yang tampaknya menjadi
saat terakhir untuk menurunkan wahyu tersebut? Mengapa Dia melakukan ini
setelah menurunkan wahyu yang menyatakan bahwa Dia telah menyempurnakan Din dan rahmat-Nya kepada orang-orang beriman?
Pasti ada
jawaban yang sangat penting untuk semua pertanyaan ini. Tampak bagi kami bahwa
wahyu terakhir seperti itu hanya dapat dengan tepat digunakan untuk mengulangi
suatu pernyataan yang menjadi inti dari petunjuk Tuhan. Sebagai tambahan, itu dapat digunakan untuk
mengarahkan perhatian pada bagian mana keimanan orang-orang beriman akan paling
mudah diserang dalam serangan yang akan dilancarkan pada masa yang datang
kemudian oleh musuhmusuh Islam. Akhirnya, wahyu itu datang pada saat terakhir
karena itu dianggap berkedudukan sangat penting pada Zaman Akhir. Dan Allah
Maha Tahu!
Pilihan subjek
Riba sebagai wahyu terakhir tampaknya merupakan peringatan paling keras dari
semua peringatan bahwa Riba dapat memberikan ancaman paling serius terhadap
keimanan, kebebasan, dan kekuatan orang-orang beriman. Subjek ini sangat
penting karena di dalamnya mengandung potensi serangan yang paling berbahaya,
dapat menghancurkan, dan merusak keimanan orang-orang beriman dan integritas
kekuatan umat Nabi (shollallahu
‘alayhi wassalam).
Nabi Menegaskan Bahaya Terbesar Datang dari Riba Pendapat kami ini tampaknya ditegaskan oleh kenyataan bahwa Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) sendiri telah membuat nubuat, dalam sebuah Hadits yang diterima Abu
Hurairah (rodhiyallahu
‘anhu) tentang keberhasilan suatu serangan yang dilancarkan
melalui Riba. Itu adalah serangan yang dilancarkan dengan jelas oleh
musuh-musuh Islam, dan serangan itu akan sampai kepada seluruh umat manusia,
termasuk pengikut-pengikut Nabi Muhammad (shollallahu ‘alayhi wassalam):
“Akan tiba
suatu waktu,” sabda Nabi, “saat kalian tidak dapat menemukan seorang pun dari seluruh
manusia yang tidak mengkonsumsi Riba. Dan jika seseorang mengaku bahwa dia
tidak mengkonsumsi Riba maka uap Riba mengenainya.” (Menurut versi lain, “debu
Riba mengenainya.”) (Sunan Abu Daud)
Dengan
demikian, Nabi (shollallahu
‘alayhi wassalam) membuatnya menjadi semakin jelas bahwa bahaya terbesar
terhadap integritas umat dan iman orangorang beriman datang dari Riba. Hal ini
ditegaskan oleh peringatan dari Allah Maha Tinggi sendiri yang memutuskan Riba
sebagai subjek yang dibahas dalam wahyu terakhir.
Nubuat Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) berkenaan dengan prevalensi universal Riba saat ini sudah menjadi
kenyataan. Sesungguhnya, hal itu telah menjadi kenyataan pada masa hidup kita
yang malang! Tepatnya hal itu telah menjadi kenyataan selama waktu yang telah
berlalu sejak Khilafah Ottoman runtuh pada 1924. Hingga tahun 1924, ekonomi
Eropa kapitalis berbasis Riba tidak berhasil memasuki ekonomi dan pasar di
dunia Muslim. Tetapi Eropa berhasil merayu pemerintah yang memimpin urusan umat
Muslim untuk memasuki Riba. Khalifah Ottoman, contohnya, telah meminjam
sejumlah besar uang dengan bunga dari bank Eropa. Kesulitan finansial dan
ekonominya tumbuh sedemikian luas sehingga dia terpaksa, sebagai cara putus asa
untuk mencegah keruntuhan kekaisarannya, menjadi anggota dalam sistem negara
sekuler Eropa-baru. Dia melakukan ini dalam Persetujuan Damai Paris (Paris Peace Agreement) pada 1856. Tetapi balasan yang harus dia lakukan adalah mengalah pada
pemeras finansial Euro-Yahudi, yakni berhenti memungut pajak Jizyah dari Ahl
al-Zhimmah di seluruh wilayah Kekaisaran Ottoman. Hal itu juga
sebagai bentuk balas jasa atas hutang yang diterima dan sebagai bentuk
pembayaran bunga. Dengan melakukan itu, Khalifah mengkhianati Allah Maha Tinggi
yang telah menetapkan pajak Jizyah dalam al-Qur’an (al-Taubah, 9: 29).
Keberhasilan
bankir-bankir Euro-Yahudi menyerang Khalifah Ottoman adalah salah satu contoh
klasik imperialis finansial, yang dilaksanakan melalui Riba. Henry Kissinger
adalah penguasa dengan strategi sama yang akhirnya meruntuhkan superpower modern, Republik Sosialis Uni Soviet. Peristiwa itu seharusnya telah
membuka mata Ulama Islam. Tetapi tidak! Akibatnya strategi yang sama terus
dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia, dan oleh banyak bank lainnya. Tidak hanya ekonomi
Israel berbasis Riba, tetapi Israel juga mengajak PLO Arafat dan rezim Arab
lain untuk menganut sistem ekonomi mematikan yang sama yang menjerumuskan
masyarakat dalam jeratan kemiskinan, kemelaratan, dan perbudakan ekonomi.
Keberhasilan pemeras finansial Euro-Yahudi menunjukkan permulaan keruntuhan
model sakral pemerintahan Islam (Darul Islam) dan
penggantiannya dengan model Eropa-sekuler. Dalam model negara sekuler,
‘kedaulatan’ direbut dari Allah Maha Tinggi dan malah dimiliki oleh negara. Itu
adalah Syirik!
Sesungguhnya
sejak 1924, Riba telah menembus kehidupan ekonomi umat Muslim di seluruh dunia.
Imperialisme finansial yang melekat pada Riba telah dibawa ke seluruh dunia
Islam sedemikian hingga tenggorokan umat Islam berada dalam genggaman musuh
yang memegang pisau tajam. Sesungguhnya semua umat manusia sekarang terjebak
dalam jeratan Riba dan Syirik. Tidak hanya nubuat Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) telah menjadi kenyataan dengan kemenangan penuh perbankan berbasis Riba di
seluruh dunia, dan dengan Riba yang mengandung uang artifisial yang tidak
bernilai tukar, tetapi nubuat itu juga telah menjadi kenyataan dengan rusaknya
pasar yang bebas dan adil. Yang disebut pasar bebas saat ini, pada
kenyataannya, adalah suatu ‘sarang para pencuri’, di mana yang kuat
mengeksploitasi yang lemah.
Akhirnya, Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) sendiri menyerukan bahaya besar dan peringatan mengerikan dalam al-Qur’an
dengan menggunakan bahasa yang paling keras melawan Riba:
“Abu Hurairah (rodhiyallahu ‘anhu) berkata bahwa Utusan Allah bersabda: Riba terdiri dari tujuh puluh bagian
dosa yang berbeda, bagian dosa yang paling ringan sama dengan dosa seorang
lelaki yang menikahi (menyetubuhi) ibunya sendiri.” (Sunan, Ibnu Majah;
Baihaqi)
“Abdullah bin
Hanzala (rodhiyallahu
‘anhu) melaporkan bahwa Utusan Allah bersabda: Satu dirham
(koin perak) hasil Riba, yang diterima seseorang dengan sadar, adalah lebih
buruk daripada melakukan perzinahan tiga puluh enam kali. (Ahmad) Baihaqi merawikannya,
dari Ibnu Abbas (rodhiyallahu
‘anhu), dengan tambahan bahwa Nabi melanjutkan bersabda:
Neraka lebih cocok untuk tubuh yang diberi makan dengan yang haram.”
“Abu Hurairah (rodhiyallahu ‘anhu) melaporkan Rasul Allah bersabda: Pada malam aku dibawa ke langit, aku
mendatangi orang-orang yang perutnya seperti wadah berisi ularular yang dapat
dilihat dari luar perut mereka. Aku bertanya kepada Jibril, siapa mereka, dan
dia mengatakan kepadaku bahwa mereka adalah orang-orang yang memakan Riba.” (Musnad,
Ahmad; Sunan, Ibnu Majah)
“Abu Hurairah (rodhiyallahu ‘anhu) melaporkan bahwa Nabi bersabda: Allah tidak akan mengijinkan empat golongan
memasuki surga atau merasakan berkahnya: orang yang biasa meminum (alkohol),
orang yang memakan Riba, orang yang merampas harta anak yatim dengan tidak
benar, dan orang yang menelantarkan orang tuanya.” (Mustadrak, al-Hakim, ‘Kitab
al-Buyu’)
Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) juga menegaskan pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya berkenaan dengan
larangan Riba dalam Hadits berikut:
“Jabil bin
Abdullah (rodhiyallahu
‘anhu) berkata: Aku mendengar Rasul Allah bersabda: Jika di
antara kalian tidak meninggalkan mukhabara maka dia harus waspada terhadap pernyataan
perang dari Allah dan Rasul-Nya. Zaid bin Tsabit berkata: Aku bertanya: Apa itu
mukhabara? Dia menjawab: Bahwa kalian memiliki tanah untuk panen lalu mengambil
setengah, sepertiga, atau seperempat (dari hasil panen).” (hal ini berbahaya karena
dapat memperbudak pekerja dengan tipu daya.) (Sunan, Abu Daud)
Seharusnya
sudah jelas dari bahan yang disajikan di atas bahwa pembentukan ekonomi
berbasis Riba adalah dosa yang sangat besar. Sebagai akibatnya, tentu itu melanggar
syarat-syarat yang ditetapkan Tuhan bagi pewaris Tanah Suci. Nabi dan Keruntuhan Uang Kertas Yang juga menjadi masalah kritis yang sangat penting adalah umat Muslim harus
dengan hati-hati mempelajari nubuat Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) tentang keruntuhan mata uang artifisial sekuler (kertas, plastik, uang
elektronik,dll.):
“Abu Bakr bin
Abi Maryam (rodhiyallahu
‘anhu) melaporkan bahwa dia mendengar Rasulullah bersabda:
Suatu waktu pasti mendatangi umat manusia saat tidak akan ada (yang tersisa)
yang berguna (atau bermanfaat) kecuali dinar dan dirham (koin emas dan perak).”
(Musnad, Ahmad)
Nubuat Nabi
Muhammad (shollallahu
‘alayhi wassalam) tersebut hampir menjadi kenyataan. Sistem keuangan
saat ini menggunakan ‘kertas’ untuk membuat ‘uang’. Itu adalah tipu daya yang
besar! Uang artifisial sangat berbeda dengan uang nyata. Uang nyata memiliki
nilai intrinsik, sedangkan uang artifisial tidak. Nilai uang artifisial adalah
yang diberikan padanya oleh daya pasar. Nilai pasarnya hanya berlaku selama ada
keyakinan publik padanya dan permintaan untuknya di pasar. Permintaan sendiri
berdasarkan pada kepercayaan, dan kepercayaan adalah sesuatu yang dapat
dimanipulasi. Jadi, selama pemerintah mengontrol yang dikenal dengan pasar mata
uang yang bebas, maka mereka dapat turun tangan untuk melindungi kepercayaan
publik. Namun saat ini, pasar mata uang dikuasai oleh daya spekulatif yang
jahat, daya yang dibahan bakari oleh kerakusan tanpa belas kasih. Apapun yang
secara serius mengganggu kepercayaan pasar dapat menyebabkan pelarian
besar-besaran para spekulan yang akan mewujudkan nubuat Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) menjadi kenyataan.
Keruntuhan uang
kertas akan membawakan keberhasilan final bangsa Eropa dalam perjuangan mereka
selama lebih dari seribu tahun untuk menjadikan umat Yahudi sebagai penguasa
seluruh dunia. Orang-orang yang memiliki uang nyata akan bertahan dalam keruntuhan
uang artifisial, sedangkan para spekulan yang dengan berhasil mengeksploitasi
keruntuhan tersebut akan mendapat keuntungan terbesar. Masyarakat luas akan
kehilangan kekayaan mereka dan diperbudak. Mereka akan terperangkap dengan
kertas tak bernilai yang selama ini dipertunjukkan sebagai uang. Itulah bencana
holocaust finansial yang pasti akan terjadi.
Orang-orang
lainnya pun, selain Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam), sekarang ini
memprediksikan keruntuhan finansial tersebut. Judy Shelton, contohnya, melakukannya
dalam bukunya yang berjudul “Money Meltdown: Restoring Order to The Global Currency System” (“Keruntuhan Uang: Tata Ulang Sistem Mata Uang Global”, New York, The Free
Press, 1994). Kita seharusnya tidak lupa, dan tidak boleh membiarkan dunia
lupa, pada keruntuhan dolar AS yang dramatis dan tidak terduga pada Januari
1980 saat nilai dolar terhadap emas jatuh sampai $ 850 untuk satu ounce emas! Keruntuhan dolar AS ini terjadi akibat keberhasilan revolusi Islam
anti-Barat di Iran yang memberikan sumber minyak Iran yang berlimpah kepada
pemerintah Islam yang anti-sistemik. Keruntuhan yang serupa terjadi pada 1973
setelah perang Arab-Israel dan embargo minyak Arab terhadap AS. Nilai dolar AS
jatuh 400% yakni dari US$ 40 per ounce emas menjadi
US$
Kenyataannya,
keruntuhan sistem moneter internasional akan terjadi saat umat Yahudi
memutuskan untuk meruntuhkan Dolar AS. Mereka dapat melakukan itu kapan pun
karena Dolar AS terbuat dari kertas dan mengandung tipu daya yang pada intinya
tidak bernilai. Saat Dolar AS runtuh, maka semua mata uang kertas lain di dunia
pun runtuh. Yang paling diuntungkan dari keruntuhan tersebut adalah Negara
Israel, karena merekalah yang mengontrol bank-bank yang sekarang mengontrol
uang. Pemerintah-pemerintah negara di dunia tidak akan dapat menerbitkan uang
lagi. Malah bank-bank (yang sekarang dikontrol oleh umat Yahudi) akan
menerbitkan uang (elektronik) plastik! Keruntuhan uang tersebut bisa saja
terjadi saat Israel melancarkan perang besar melawan Bangsa Arab, kemudian dengan
berhasil menentang seluruh dunia. Keberhasilan kekuatan militer dan politik
bersama dengan kontrol finansial baru yang datang dengan runtuhnya uang kertas
akan menjadikan status Israel sebagai Negara Penguasa di dunia.
Penulis ini percaya bahwa peristiwa tersebut sepertinya akan terjadi dalam lima
hingga sepuluh tahun lagi atau bahkan lebih cepat. Israel dengan berhasil telah
menentang presiden AS yang meminta beberapa kali kepada Israel agar menarik
pasukan militernya dari kota-kota Palestina yang didudukinya setelah gelombang
‘bom-bom manusia’ warga Palestina mengambil banyak korban warga Yahudi Israel.
Apa Kenyataan dari Serangan Riba?
Daya yang
muncul pada zaman modern dan yang merestorasi Negara Israel adalah daya yang
telah memperdaya seluruh umat manusia dengan Riba. Al-Qur’an mengidentifikasi
daya tersebut sebagai bangsa Ya’juj (Gog) dan Ma’juj (Magog), dan Nabi (shollallahu
‘alayhi wassalam) menambahkan Dajjal al-Masih Palsu. Dia (shollallahu ‘alayhi wassalam) menyatakan bahwa Zaman Dajjal akan menjadi zaman tersebarnya Riba secara
universal. Ulama Islam terkemuka, Dr. Muhammad Iqbal, mengejutkan dunia Muslim
saat dia menyatakan, sejak 1917, bahwa lepasnya Ya’juj dan Ma’juj dalam ayat
al-Qur’an, telah terjadi. Oleh karena itu, jelas sekali bahwa daya Riba yang
memperdaya umat manusia adalah serangan dari makhluk jahat yang diciptakan
Allah sendiri. Tujuan penyerang adalah untuk menghadapkan seluruh umat manusia
termasuk Muslim pada ujian keimanan terbesar yang dialami umat manusia dari sejak
Adam (‘alayhi
salam) hingga Hari Kiamat. Tujuan dari penyerang adalah untuk
menipu umat Yahudi dan membimbing mereka menuju kehancuran terakhir. Bagian
terpenting dari serangan itu adalah ujian Riba! Kita sekarang hidup dalam ujian
tersebut. Bukti sampai sejauh ini menunjukkan bahwa kebutaan spiritual dunia
Yahudi gagal dengan menyedihkan dalam menghadapi ujian tersebut. Spiritual umat
Islam pun tampak buta, tidak sanggup menghadapinya.
Allah Maha Tinggi Menyatakan Perang Melawan Israel Allah Maha Kuasa berfirman dengan suatu bahasa yang keras bahwa dosa Riba dapat
menjadi dosa terbesar. Murka Allah terhadap penindas (karena penindasan Riba)
begitu besar sehingga pada Hari Kebangkitan mereka akan berdiri di hadapan-Nya
menjadi suatu kaum yang diliputi kegilaan karena sentuhan setan. Saat Negara
Yahudi Israel melakukan Riba maka Allah tidak hanya akan menghukum bangsa
tersebut pada kehidupan akhirat, bahkan Dia dan Rasul-Nya (shollallahu ‘alayhi wassalam) akan memerangi mereka di dunia ini.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkanlah sisa Riba, jika kalian benar-benar beriman.” “Jika
kalian tidak melaksanakannya maka waspadalah terhadap (pernyataan) perang dari
Allah dan Rasul-Nya…” (al-Qur’an, al-Baqarah, 2: 278-279)
Buku ini
mengarahkan perhatian pada kenyataan bahwa umat Yahudi mengendalikan sistem
perbankan di seluruh dunia saat ini. Tetapi ayat al-Qur’an di atas adalah tanda
begitu kerasnya larangan Riba dari Allah Maha Tinggi. Dalam keseluruhan sejarah
wahyu ilahi, sepengetahuan saya, Allah Yang Maha Kuasa tidak pernah menggunakan
bahasa yang begitu keras pada hal apa pun selain Riba.
Setelah
kematian Sulaiman (‘alayhi
salam), Bangsa Bani Israel menyelewengkan Taurat dengan
menulisnya ulang beberapa kali dalam beberapa versi yang berbeda. Sarjana
al-Kitab Harvard-Amerika, Richard Friedman, telah menunjukkan kesimpulan ini
dalam hasil karyanya yang sangat penting berjudul “Who Wrote The Bible?” (“Siapa yang Menulis al-Kitab?”, New York: Harper and Row, 1989). Bani
Israel menghilangkan ayat-ayat dalam Taurat mengenai Tempat Ibadah (atau
Masjid) yang dibangun oleh Ibrahim (‘alayhi salam) dan Ismail (‘alayhi salam) di Arabia. Ka’bah dan ibadah haji tidak lagi ditemukan dalam Taurat. Mereka
juga mengganti semua ayat mengenai Ismail (‘alayhi salam) sebagai anak yang
dikorbankan dengan nama saudaranya yakni Ishak (‘alayhi salam), padahal Ishak (‘alayhi salam) belum dilahirkan saat ujian pengorbanan tersebut terjadi.
Sebagai tambahan, anak yang dikorbankan digambarkan oleh Allah dalam al-Qur’an
sebagai halim (sabar) (Saffat, 37:
101), sedangkan anak yang dilahirkan Sarah
digambarkan sebagai alim (bijaksana) (al-Hijr,
15: 53). Mereka mengganti Arabia dengan
Palestina sebagai tempat pengorbanan. Zam-zam, mukjizat mata air yang mucul
di gurun pasir saat Jibril (‘alayhi salam) menggosokkan tumitnya di pasir,
sekarang menjadi mata air di Palestina. Mereka menjelek-jelekkan Ismail (‘alayhi salam) dalam Taurat sebagai orang yang “seperti keledai liar” dan mengeluarkannya
dari perjanjian Allah sehingga mereka dapat mengklaim status eksklusif
sebagai ‘umat pilihan’ Allah. Yang paling berbahaya adalah mereka
menyelewengkan
larangan Tuhan pada Riba. Mereka mengubah Taurat untuk membuatnya
mengijinkan uang dipinjamkan dengan bunga kepada orang-orang non-Yahudi
sedangkan tetap menjaga larangan Riba pada transaksi antar sesama Bani Israel
(Ulangan [Deuteronomy], 23: 20-21).
Allah Maha
Kuasa menanggapi kejahatan kejam ini dengan mengirimi mereka
sepasukan makhluk-Nya yang memiliki keahlian perang. Raja Babilonia, Nebukadnezar,
menyerbu Israel, mengalahkan Bani Israel, memperbudak semua yang ditawan,
menghancurkan Negara Israel dan Masjid al-Aqsa (yang dibangun oleh Sulaiman [‘alayhi salam]) dan membawa pulang Bani Israel ke Babilonia untuk dijadikan
sebagai budak (al-Isra, 17: 4-5). Ini adalah bukti kuat kemampuan Allah melancarkan
perang.
Ada bukti kedua
saat Kaisar Romawi, Titus, membinasakan Jerusalem dan menghancurkan Tempat
Ibadah untuk yang kedua kalinya (al-Isra, 17: 7, 104). Ini pun berhubungan
dengan Riba. Allah telah mengutus tiga Nabi: Zakariah (‘alayhi salam), Yunus (John) (‘alayhi
salam), dan ‘Isa (Jesus) (‘alayhi salam) kepada Bani Israel. Golongan Bani Israel yang menolak Nabi-nabi ini menjadi
umat Yahudi. Umat Yahudi membunuh Zakariah (‘alayhi salam) di dalam Masjid
al-Aqsa (Matias [Matthew], 24: 35, 36; Lukas [Luke], 11: 51). Yunus (John) (‘alayhisalam) dibunuh dengan tipu daya. Dan, akhirnya, umat Yahudi menyombongkan diri
bahwa mereka telah membunuh ‘Isa (Jesus) (‘alayhi salam).
Ketiga Nabi Allah
telah memperingatkan dan mengutuk mereka karena kejahatan mereka. Ini termasuk
peringatan kepada umat Yahudi atas kejahatan mengubah Taurat dan mengkonsumsi
Riba. ‘Isa (‘alayhi
salam), contohnya, pergi ke Masjid al-Aqsa dan memergoki
mereka melakukan Riba. Dia (‘alayhi salam) mengutuk mereka, membalikkan meja-meja mereka,
mengusir mereka keluar dari Tempat Ibadah dan menyatakan: “Kalian telah mengambil rumah Allah
dan mengubahnya menjadi sarang para pencuri.” Dengan demikian, karena Nabi-nabi Allah mengungkap kejahatan mereka yakni
mengkonsumsi Riba, di antara kejahatan-kejahatan lainnya, sehingga mereka
membunuh mereka (kecuali ‘Isa (‘alayhi salam), yang secara
ajaib diselamatkan Allah). Allah Maha Tinggi merespon kejahatan ini dengan
mengirim Pasukan Romawi yang menghancurkan Negara Israel untuk yang kedua
kalinya.
Peringatan
pernyataan perang dari Allah Maha Tinggi karena konsumsi Riba, akan dianggap
lebih serius jika kita merenungi kenyataan bahwa Allah Maha Tinggi telah turun
tangan untuk melindungi Masjid Pertama (Ka’bah) di Mekah saat Abrahah datang
dengan pasukan gajahnya untuk menghancurkan Ka’bah (al-Qur’an, al-Fil, 105: 1-5). Bahkan saat Ka’bah dipenuhi dengan patung berhala, Allah Maha Tinggi masih
turun tangan untuk menyelamatkannya dari kehancuran. Tetapi, bahkan meskipun
tidak ada patung berhala di Masjid yang Kedua (Masjid al-Aqsa), Allah Maha
Tinggi telah dua kali mengirim pasukan untuk menghancurkannya. Yang demikian
itulah gambaran begitu besarnya murka Tuhan atas penindasan yang disebabkan
oleh Riba.
Peringatan
keras untuk umat Yahudi adalah bahwa Syirik dalam Negara Israel sekuler dan
Riba dalam kehidupan ekonominya, keduanya dengan jelas melanggar syarat-syarat
yang ditetapkan Tuhan bagi pewaris Tanah Suci. Akibat dari pelanggaran tersebut
adalah bahwa Allah Maha Tinggi akan menanggapinya dengan menghukum mereka.