Kisah Nabi Ibrahim
“Dan Kami Selamatkan dia (Ibrahim) dan (keponakannya) Lut (dan mengarahkan mereka) ke ‘Tanah’ yang Kami Berkahi untuk seluruh alam (termasuk untuk seluruh umat manusia).” (al-Qur’an, al-Anbiyah, 21:71)
Ibrahim (‘alayhi salam)
Cerita versi al-Qur’an tentang Jerusalem dan
Tanah Suci dimulai dengan Ibrahim (‘alayhi salam), Nabi Allah Maha Tinggi. Dia menghancurkan berhalaberhala di kuil milik kaumnya (di Ur – sekarang Irak)
namun menyisakan berhala yang paling besar tetap berdiri untuk menunjukan
pesan pada para penyembah berhala tentang kebatilan penyembahan berhala
(al-Qur’an, al-Anbiyah, 21:57-63). Jika Ibrahim (‘alayhi salam) kembali ke dunia dan mengulangi perbuatan tersebut, dia akan dicela oleh pemerintah
sekuler dan yang disebut sarjana Muslim sebagai pelaku perbuatan terorisme dan perusakan
warisan budaya Babilonia. PBB akan memberikan sanksi kepada negara yang
melindunginya.
Nabi Muhammad (shollallahu ‘alayhi wassalam) akan diperlakukan secara tidak berbeda jika dia kembali dan mengulangi tindakan seperti
penghancuran berhala-berhala di Ka’bah. Bangsa Ur merespon dengan murka pada
penghancuran berhala dan perlakuan yang merendahkan penyembahan berhala mereka.
Mereka menghukum Ibrahim (‘alayhi salam), menyalakan api yang besar, dan melemparkan dia
ke dalamnya. Tetapi Allah Maha Tinggi mencegahnya dan
memerintahkan api menjadi “dingin bagi dia” dan “melindungi dia agar selamat dari bahaya” (al-Qur’an, al-Anbiyah, 21:68-69). Setelah itu Allah Maha
Tinggi menyatakan bahwa Dia mengantarkan Ibrahim (‘alayhi salam) dan Lut (‘alayhi salam) ke suatu ‘Tanah’ dimana Dia melimpahkan berkah untuk seluruh
manusia. ‘Tanah’ itu adalah Tanah Suci.
“Dan Kami Selamatkan dia (Ibrahim) dan
(keponakannya) Lut (dan mengarahkan mereka) ke ‘Tanah’ yang Kami
Berkahi untuk seluruh alam (termasuk untuk seluruh umat manusia).” (al-Qur’an, al-Anbiyah, 21:71)
Dengan ayat ini, konsep Tanah Suci atau Tanah
yang diberkahi pertama kali diperkenalkan dalam al-Qur’an. Apa maknanya?
Mengapa Allah Maha Bijaksana harus memilih satu Tanah dari semua yang ada di
bumi dan membuatnya Tanah Suci yang diberkahi dan mengapa Dia memandu
Ibrahim (‘alayhi salam) dan Lut (‘alayhi salam), kedua Nabi dan Rasul-Nya, pindah ke Tanah Suci
tersebut? Hanya ada satu jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan
ini. Dari seluruh manusia, Allah Maha Bijaksana
memilih Ibrahim (‘alayhi salam) sebagai ‘teman’-Nya atau ‘orang yang sangat
dicintai’ (khalil) (al-Qur’an, an-Nisa, 4:125). Dia menguji Ibrahim (‘alayhi salam) dengan berbagai macam ujian dan cobaan tersulit yang berhasil dilalui
Ibrahim (‘alayhi salam). Kemudian, Allah Maha Tinggi menunjuknya sebagai pemimpin
religius (Imam) bagi seluruh umat manusia (al-Qur’an, al-Baqarah, 2:124).
Oleh karenanya, hanya ada ‘satu Kebenaran’, dan darinya akan muncul ‘satu’ agama
bagi seluruh umat manusia yakni agama Ibrahim (‘alayhi salam). Dengan demikian, hanya ada satu agama yang benar, dan yang lainnya salah. Agama itu
adalah agama dari imam manusia, agama Ibrahim (‘alayhi salam). Tidak ada Pendeta dan Rabi yang dapat menentang itu! Namun ketika kami menegaskan hal tersebut,
Rabi menuduh pendapat kami sebagai sovinisme (kepercayaan suatu kaum lebih
baik dari yang lain)!
Saat Allah Maha Tinggi memilih satu Tanah dan
menjadikannya sebagai Tanah Suci yang diberkahi dan kemudian memandu
Ibrahim (‘alayhi salam) hijrah ke Tanah tersebut, tujuan Tuhan atau rencana-Nya
adalah bahwa Tanah Suci berfungsi sebagai ‘alat uji’ Kebenaran. Hanya
agama Ibrahim (‘alayhi salam) yang dapat bertahan di Tanah Suci, yang lainnya akan
terusir. Dengan kata lain, disanalah Kebenaran akan selalu menang melawan
kebatilan dan sejarah manusia tidak dapat berakhir sebelum kemenangan akhir
Kebenaran melawan kebatilan di Tanah itu! Kesalehan, kebajikan, ketaatan,
dan ketundukan pada Allah Maha Tinggi merupakan inti utama dari Kebenaran dan
begitulah agama Ibrahim (‘alayhisalam). Apakah Kebenaran itu ada pada Kristen, Yahudi, atau Islam?
Jerusalem siap menjawab pertanyan tersebut! Adalah takdir
Jerusalem untuk mengesahkan Kebenaran. Dan hal itu tentu menjadi inti utama
dari buku ini. Karena Ibrahim (‘alayhi salam) dan Lut (‘alayhi salam) diarahkan oleh Allah Maha Bijaksana, untuk berpindah ke Tanah Suci dan
menetap di sana, implikasinya adalah bahwa jika Allah Maha Tinggi tidak
mengarahkan mereka untuk berpindah lagi ke tempat lain, maka mereka dan
keturunannya akan menetap di Tanah itu.
Dengan demikian, Tanah itu menjadi milik mereka. Pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah
undangan untuk menetap di Tanah Suci adalah tanpa syarat? Akankah undangan
itu tetap sah jika keturunan mereka meninggalkan agama Ibrahim (‘alayhi salam) dan menjadi ateis, atau melakukan pelacuran, atau penindasan? Akankah
itu tetap sah jika di Tanah Suci, umat Yahudi mendirikan negara sekuler yang
menyatakan ‘Kekuasaan Tertinggi’ dimiliki oleh negara, bukan oleh Tuhan-nya
Ibrahim, dan bahwa hukum tertinggi adalah hukum negara, bukan hukum Allah? Akankah
hal itu tetap sah jika negara tersebut menyatakan Halal (mengijinkan) hal-hal
yang Allah Maha Tinggi telah menjadikannya Haram (terlarang)? Kami harus
mengingatkan bahwa Tuhan-nya Ibrahim (‘alayhi salam) Melarang penerimaan dan pemberian uang pinjaman dengan bunga (Riba). Umat Yahudi mengubah Taurat untuk
membolehkan pemberian uang pinjaman dengan bunga kepada umat
non-Yahudi. Bukan hanya Riba yang dibolehkan di Tanah Suci saat ini, tetapi juga
banyak hal-hal lain yang dilarang oleh Allah Maha Tinggi.
Kemudian, dan yang penting, adalah pertanyaan:
Jika Allah Maha Tinggi memberkahi Tanah itu untuk seluruh manusia, bukankah hal itu berarti bahwa semua manusia yang dengan penuh keimanan
mengikuti agama Ibrahim juga memiliki ijin masuk dan berhak mendapatkan
keberkahan tersebut? Bukankah itu pernyataan umum? Kemudian darimana
datangnya klaim umat Yahudi memiliki hak khusus pada Tanah Suci? Saat kami mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan
penting tersebut, bantuan besar datang dengan merenungkan percakapan
antara Ibrahim (‘alayhi salam) dengan Tuhan-nya berikut ini:
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh
Tuhan-nya dengan perintah-perintah tertentu, lalu dia melaksanakannya dengan
sempurna. Dia (Tuhan) berfirman, “Sesungguhnya Aku Menunjukmu sebagai Imam
(pemimpin religius dan spiritual) bagi seluruh umat manusia.” Dia (Ibrahim)
meminta keterangan, “Dan juga dari keturunanku?” (Akankah mereka juga
mendapatkan status ini?) Dia (Tuhan) menjawab, “Perjanjian-Ku tidak berlaku
bagi orang-orang yang melakukan perbuatan Zalim (ketidakadilan,
penindasan, tirani, kesewenang-wenangan, penganiayaan).” (al-Qur’an, al-Baqarah: 2:124)
Perbuatan-perbuatan yang dikenali al-Qur’an
sebagai perbuatan zalim diantaranya yaitu “memaksa orang-orang keluar dari
rumah mereka dan keluar dari Tanah di mana mereka tinggal” dan
melakukannya “tanpa alasan yang benar (tidak ada alasan selain) karena orang-orang
tersebut beriman pada Allah Maha
Tinggi”.
“Diijinkan bagi orang-orang yang
diperangi (untuk melawan), karena sesungguhnya mereka dizalimi
(diperlakukan dengan tidak adil) dan sungguh, Allah Maha Kuasa untuk menolong mereka
itu, (mereka adalah) orang-orang yang diusir dari rumah-rumah mereka tanpa
alasan yang benar, hanya karena mereka berkata,”Tuhan kami ialah Allah”…” (al-Qur’an, al-Hajj, 22: 39-40)
Hal ini adalah cara yang ditempuh dalam
mendirikan Negara Yahudi Israel (yaitu dengan tidak adil mengusir penduduk
Palestina secara paksa). Al-Qur’an menyiapkan azab terbesarnya akibat
perbuatan zalim yang terjadi saat firman Allah diubah dan dusta dinyatakan
terhadap Allah. Itulah yang dilakukan umat Yahudi, yakni menulis ulang
Taurat dan menyelewengkannya dengan mengubah firman Allah Maha Tinggi:
“Dan siapakah yang lebih zalim (tidak
adil) daripada orang-orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau
menolak Tanda-tanda-Nya? Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
tidak akan beruntung.” (al-Qur’an, al-An’am, 6:21)
Musa (‘alayhi salam)
Berikutnya penyebutan Tanah Suci dalam al-Qur’an
berlanjut dengan kisah yang terjadi pada sekitar 500 tahun kemudian
saat Musa (‘alayhi salam) meminta Bani Israel berperang merebut Tanah Suci. Dia
telah memimpin mereka keluar dari perbudakan di Mesir dan mukjizat Tuhan
telah terjadi yaitu laut yang terbelah menyelamatkan mereka namun menenggelamkan musuh
mereka. Kemudian perjuangan berlanjut di Sinai untuk membebaskan
Tanah Suci.
“Wahai kaumku! Masuklah ke Tanah Suci
(al-Ardh al-Muqaddasah) yang Allah berikan kepada kalian, dan janganlah
kalian berpaling ke belakang dengan tercela, karena dengan begitu kalian akan
merugi (di antaranya kehilangan hak tinggal di Tanah Suci).” (al-Qur’an, al-Maidah, 5:21)
Ayat al-Qur’an ini mengkonfirmasi apa yang
secara tersirat ada dalam surat al-Anbiyah (21:71). Pada waktu itu, Bani Israel
adalah keturunan Ibrahim (‘alayhisalam) dan masih mengikuti agama Ibrahim (‘alayhi salam) di bawah bimbingan Nabi Allah, Musa (‘alayhi salam), dengan begitu mereka berhak tinggal di Tanah Suci. Pada waktu itu, Tanah Suci menjadi milik
mereka! Beberapa lama setelah kematian Musa (‘alayhi salam), Bani Israel berhasil memasuki Tanah Suci. Namun, suku yang ganas
terus menyerang mereka. Kadangkala mereka bahkan terpaksa melarikan diri
untuk menyelamatkan nyawa mereka. Al-Qur’an menyebutkan kisah ini,
dan keinginan mereka agar dipilihkan seorang raja yang akan memimpin
mereka berjuang dalam peperangan mendapatkan kekuasaan di Tanah Suci:
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang
yang kabur dari rumah mereka (di Tanah Suci) meskipun (jumlah) mereka
ribuan karena takut mati? Allah berfirman kepada mereka, “Matilah
kalian!” Kemudian Allah Menghidupkan mereka kembali. Sesungguhnya Allah
Memberikan karunia yang berlimpah kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia
tidak bersyukur.” “Maka berperanglah di jalan Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Mendengar dan Mengetahui segala sesuatu
(Allah Yang Maha Bijaksana ingin kalian berperang melawan penindas yang
memaksa kalian keluar dari rumah dan daerah tempat tinggal kalian).” “Barang siapa yang memberikan pinjaman
kepada Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah akan (mengembalikannya)
jauh lebih banyak dari pinjaman
tersebut! Allah yang Membatasi apa yang
Dia Berikan dan yang Melebihkan apa yang Dia Berikan dan kepada-Nyalah kalian
akan dikembalikan.”
“Tidakkah kamu perhatikan para pemuka
Bani Israel, setelah (berlalunya masa) Musa, ketika mereka berkata kepada
seorang Nabi (yang ada) di antara mereka, “Angkatlah seorang raja untuk kami,
niscaya kami akan berperang di jalan Allah.” Nabi mereka menjawab, “Tidak
mungkinkah jika kalian diperintahkan untuk berperang, maka kalian tidak akan
berperang juga?” Mereka menjawab, “Mengapa kami menolak untuk berperang di
jalan Allah, sedangkan kami dan keluarga kami telah diusir dari rumah
kami?” Tetapi ketika mereka diperintahkan untuk berperang, mereka
berpaling ke belakang, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang zalim.” (al-Qur’an, al-Baqarah, 2:243-246)
Nabi yang berbicara pada mereka adalah Samuel (‘alayhi salam). Jawaban mereka adalah:
“Mengapa kami menolak untuk berperang di
jalan Allah, sedangkan kami dan keluarga kami telah diusir dari rumah
kami?” (al-Qur’an, al-Baqarah, 2:246)
Jawaban mereka berasal dari lidah mereka
sendiri, dari mulut mereka sendiri. Intinya adalah suatu kaum berhak melawan
penindas yang mengusir mereka keluar dari rumah dan wilayah tempat tinggal
mereka. Sementara hal itu benar untuk semua wilayah, hal itu secara khusus benar
untuk Tanah Suci. Kemudian bagaimana mungkin Negara Israel yang dibentuk
dengan mengusir penduduk Palestina keluar dari rumah dan wilayah mereka
(penduduk yang menyembah Tuhan-nya Ibrahim) lalu dengan keras kepala
menolak hak mereka selama lebih dari lima puluh tahun untuk kembali ke tempat
tinggal mereka sendiri, dapat bertahan?
Yusya (Joshua) (‘alayhi salam)
Setelah Bani Israil diantar keluar dari Mesir,
mereka (sekali lagi) dikaruniai oleh Ketetapan Tuhan bahwa mereka dapat mewarisi Tanah Suci (yang dahulu dimiliki oleh kakek moyang mereka yakni Nabi
Ibrahim [‘alayhi salam]). Al-Kitab memberitahu kita bahwa Yusya bin Nun memimpin
mereka menuju Tanah Suci.
Al-Qur’an tidak menolak juga tidak
mengkonfirmasi pernyataan al-Kitab tersebut mengenai nama Yusya bin Nun: “Dan Kami Wariskan kepada kaum yang
tertindas itu bagian Timur dan Barat dari Tanah (Suci) yang Kami berkahi. Dan
(dengan demikian) janji yang adil dari Tuhanmu kepada Bani Israel telah
ditepati, karena mereka memiliki kesabaran dan tetap tabah dalam kesengsaraan.
Sedangkan Kami Hancurkan semua yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan
semua yang telah mereka bangun (dengan kesombongan).” (al-Qur’an, al-‘Araf, 7:137)
Sebelumnya ketika Musa (‘alayhi salam) memerintahkan mereka untuk memasuki Tanah Suci, orang-orang Yahudi menolak
untuk berperang. Pada saat itu, dua orang di antara mereka mendorong mereka
untuk berperang memasuki Tanah Suci. Para ahli tafsir al-Qur’an
mengidentifikasi Yusya sebagai salah satu dari kedua orang itu:
“Berkatalah dua orang laki-laki di antara
mereka yang takut kepada Tuhan (mereka), yang telah diberi nikmat oleh
Allah, “Serbulah mereka melalui pintu gerbangnya (membuat penyerangan
langsung). Jika kalian memasukinya niscaya kalian akan menang. Dan bertawakallah
kalian hanya kepada Allah, jika kalian benar-benar beriman.” (al-Qur’an, al-Maidah, 5:23)
Sulaiman (‘alayhi salam)
Berlanjut pada kisah yang terjadi 500 tahun
kemudian, untuk yang keempat kalinya al-Qur’an menyebut Tanah Suci, ketika
Allah Maha Bijaksana berfirman tentang Kerajaan Sulaiman (‘alayhi salam) sebagai berikut:
“(Adalah kekuatan Kami yang membuat)
angin yang sangat kencang tiupannya (yang sukar dikendalikan) berhembus
(dengan jinak) untuk Sulaiman, menurut perintahnya, ke Tanah yang telah Kami
berkahi. Dan Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Qur’an, al-Anbiyah, 21:81)
Adalah akibat dari semua berkah Tuhan tersebut
yang membuat Negara Israel yang dipimpin Sulaiman (‘alayhi salam) menjadi tidak hanya Negara Penguasa didunia, tetapi juga negara paling hebat yang
pernah ada. Dengan Israel Sulaiman, Bani Israel mengalami masa kejayaan.
Muhammad (shollallahu ‘alayhi wassalam)
Akhirnya untuk kelima kalinya al-Qur’an menunjuk
Tanah Suci atau Tanah yang diberkahi saat menyebutkan mukjizat
perjalanan malam hari yang dilalui Nabi Muhammad (shollallahu ‘alayhi wassalam) dari Mekah ke Jerusalem dan kemudian menuju langit (samawat):
“Maha Suci (Allah), yang telah
Memperjalankan hamba-Nya pada malam hari dari Masjid al-Haram ke Masjid Terjauh
(al-Aqsa), yang di sekitar (wilayahnya) Kami berkahi, agar Kami dapat menunjukan
kepadanya beberapa Tanda-tanda Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan
Maha Melihat (segala sesuatu).” (al-Qur’an, Bani Israel, 17:1)
Masjid Terjauh diidentifikasi oleh Nabi Muhammad
(shollallahu ‘alayhi
wassalam) sebagai Masjid al-Aqsa, Masjid yang dibangun
Sulaiman (‘alayhi salam) diJerusalem:
“Dari Jabir bin Abdullah yang mendengar
Rasulullah bersabda: Saat orang-orang Quraisy tidak mempercayaiku (cerita perjalanan malamku),
aku berdiri di al-Hijr dan Allah memperlihatkan Jerusalem di hadapanku, dan aku
mulai menjelaskan kepada mereka sambil aku melihat padanya (Jerusalem yang
diperlihatkan oleh Allah).” (Sahih Bukhari)
Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) melarang umat Muslim melakukan perjalanan suci selain menuju tiga tempat: “Dari Abu Hurairah: Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) bersabda: Janganlah kalian melakukan perjalanan (suci) kecuali menuju tiga
masjid: al-Masjid al-Haram (di Mekah), Masjid Nabawi (di Madinah), dan Masjid al-Aqsa
(di Jerusalem).” (Sahih Bukhari)
“Dari Maimunah bin Sa’ad: Aku berkata: Rasul
Allah, katakanlah kepada kami keputusan yang sah tentang (mengunjungi) Bait al-Maqdis
(Jerusalem), Rasulullah bersabda: Pergi dan berdoalah di sana. (Tetapi) semua kota pada
suatu waktu nanti akan dipengaruhi oleh perang. (Jadi dia menambahkan) Jika kalian tidak
dapat mengunjunginya dan berdoa di sana, maka kirimlah beberapa minyak untuk
digunakan dalam menyalakan lampu (kirimlah dukungan).” (Sunan Abu Dawud)
Pasukan Romawi di bawah Jenderal Titus
menghancurkan Masjid al-Aqsa (Tempat Ibadah yang dibangun Sulaiman [‘alayhi salam]) pada tahun 70 M. Reruntuhannya masih ada saat pasukan Muslim
menaklukan Jerusalem pada masa pemerintahan Khalifah Umar (rodhiyallahu ‘anhu). Dialah yang memerintahkan Masjid al-Aqsa yang ada sekarang dibangun pada
tempat reruntuhan Tempat Ibadah asli yang dibangun Sulaiman (‘alayhi salam).
Selanjutnya "Sejarah Palestina dan Jerusalem Dalam Alquran
Sebelumnya "Kemunculan Dajjal dan Misteri Kota Dalam Alquran"
Selanjutnya "Sejarah Palestina dan Jerusalem Dalam Alquran
Sebelumnya "Kemunculan Dajjal dan Misteri Kota Dalam Alquran"