Berpaling dari Jerusalem ke Mekah
“Maka tidak pernahkah mereka bepergian menjelajahi bumi, sehingga hati mereka dapat mempelajari hikmah dan telinga mereka dapat belajar mendengar? Sesungguhnya bukan mata mereka yang buta, melainkan yang buta ialah hati mereka yang di dalam dada.” (al-Qur’an, al-Hajj, 22:46)
[Maka tidak pernahkah
mereka bepergian menjelajahi bumi sehingga hati mereka yang mati dapat
hidup, sehingga dengan hati dan pikiran tersebut, yang sekarang hidup dari dalam
(secara internal) mereka dapat mempelajari hikmah dan telinga mereka dapat belajar
mendengar dengan pendengaran internal? Sesungguhnya bukanlah mata mereka
yang buta, melainkan hati mereka yang ada di dalam dada.]
Sarjana religius
Yahudi mengenali hubungan umat Yahudi dengan Tanah Suci, Kota Jerusalem,
dan Tempat Ibadah Sulaiman (‘alayhi
salam), sebagai halhal yang berhubungan
dengan hakikat ‘keimanan’. Sebagai akibat dari keyakinan tersebut, mereka
menyimpulkan bahwa Agama Yahudi akan selalu tetap tidak lengkap tanpa dan
hingga umat Yahudi kembali ke Tanah Suci yang dibebaskan, merestorasi Negara
Israel dengan Jerusalem Suci sebagai ibu kota negara, dan membangun kembali
Tempat Ibadah Sulaiman (‘alayhi
salam). Zionisme tidak memiliki kaitan
sakral dengan Tanah, Kota, atau Tempat Ibadah tersebut. Kaitan Zionis hanya
berlandaskan pada kepentingan politik, sejarah, sekulerisme, dan kenegaraan. Sementara itu,
al-Qur’an menyatakan bahwa inti agama terletak pada ‘iman’ (dan perbuatan baik)
– ‘iman’ pada Allah Maha Tinggi, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul atau Nabi-nabi-Nya, Hari Akhir, Hari Kebangkitan dan
Penghakiman, surga dan neraka, dll. Allah Maha Tinggi adalah ‘Kebenaran’ (al-Haqq). ‘Iman’ berada dalam hati manusia.
Saat ‘iman’ dicapai, maka
‘Kebenaran’ memasuki hati! Allah Maha Tinggi lebih besar dari suatu tanah, kota,
atau tempat ibadah. “Langit-Ku dan bumi-Ku terlalu kecil untuk memuat Aku,
tetapi hati hamba-Ku yang beriman cukup untuk memuat Aku.” (Hadits Qudsi)
Ketika Nabi Terakhir (shollallahu ‘alayhi wassalam) datang ke dunia, sarjana sarjana religius Yahudi tidak
mampu secara formal mengenalinya sebagai seorang Nabi karena
keterikatan mereka dengan ‘bentuk luaran (eksternal)’ dari agama dan tidak sampai pada
pengenalan ‘hakikat dalaman (internal)’ dari agama.
Muhammad (shollallahu ‘alayhi wassalam) adalah orang Arab, bukan orang Yahudi, dengan demikian,
mereka berargumen, dia tidak mungkin seorang Nabi bagi umat Yahudi. Setelah
kedatangan Nabi (shollallahu
‘alayhi wassalam) di
tengah-tengah mereka di Tanah Hijaz
di Kota Yatsrib (sekarang Madinah), dia (shollallahu ‘alayhiwassalam)
berpuasa bersama umat Yahudi pada
hari-hari mereka berpuasa dan sesuai dengan aturan
Taurat (yakni dimulai saat matahari terbenam hingga matahari terbenam
lagi). Dia (shollallahu
‘alayhi wassalam) juga
menunaikan ibadah sholat menghadap ke arah
Jerusalem. Ketika tujuh belas bulan berlalu, menjadi jelas bahwa umat
Yahudi tidak hanya menolak Muhammad (shollallahu ‘alayhiwassalam)
sebagai seorang Nabi Allah Maha Tinggi
dan al-Qur’an sebagai Firman Allah Maha Tinggi
tetapi mereka juga berkonspirasi untuk menghancurkan kesatuan dan kekuatan
komunitas Muslim, Allah Maha Tinggi memerintahkan Nabi berpaling dari
arah Jerusalem ke arah Mekah dalam sholatnya.
Pengubahan Kiblat
(arah sholat) ini mendorong umat Yahudi membuat banyak komentar yang
mengecam. Itu adalah penghinaan bagi mereka yang menolak Islam
sehingga pengubahan tersebut sudah seharusnya terjadi karena mereka percaya bahwa
hakikat agama terletak di Jerusalem. Al-Qur’an merespon kecaman mereka:
“Orang-orang
yang kurang akal di antara manusia akan berkata, “Apa yang telah
memalingkan mereka dari Kiblat yang biasanya?” Katakanlah, “Milik Allah-lah
Timur dan Barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia Kehendaki
ke jalan yang lurus.” (al-Qur’an,
al-Baqarah, 2:142)
Al-Qur’an menyatakan
umat Yahudi menjadi begitu terikat pada kepercayaaan yang salah bahwa
Jerusalem adalah inti dan pusat keimanan yang tidak ada sesuatu pun di dunia
ini yang dapat mengubahnya:
“Bahkan
walaupun engkau membawakan kepada ahli kitab semua Tanda-tanda (secara
bersamaan) mereka tidak akan mengikuti Kiblatmu…” (al-Qur’an,
al-Baqarah, 2:145)
Akhirnya al-Qur’an
merespon dengan pernyataan yang meruntuhkan keyakinan mereka yang
salah bahwa Jerusalem, kota, dan tempat ibadahnya, bukanlah letak
hakikat Agama Ibrahim (‘alayhi
salam):
“Kebajikan
itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur atau ke barat, tetapi
kebajikan itu ialah beriman pada Allah, dan Hari Akhir, dan Malaikatmalaikat, dan
Kitab-kitab, dan Rasul-rasul, memberikan hartamu karena cinta pada-Nya
(atau meskipun cintamu pada harta tetapi kamu tetap memberikan hartamu
juga) kepada kerabatmu, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang
yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan
hamba sahaya; (kebajikan adalah) menjadi khusyuk dalam sholat dan
menunaikan zakat, menepati janji apabila berjanji; dan menjadi tabah dan sabar
dalam kesakitan (atau penderitaan) dan kesengsaraan, dan kepanikan pada masa
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang
yang bertakwa.” (al-Qur’an,
al-Baqarah, 2:177)
Dengan begitu, tidak
ada implikasi negatif bagi Islam pada peristiwa berpalingnya Muslim
dari Jerusalem ke Mekah, selain usaha al-Qur’an dengan jelas mengoreksi
sudut pandang religius orang-orang yang menempatkan hakikat agama pada kerangka
geografis. Pesan al-Qur’an kepada umat Yahudi sangat jelas. Umat Yahudi
diinformasikan bahwa meskipun Muhammad (shollallahu ‘alayhiwassalam)
bukan seorang Yahudi, dan walaupun dia
tidak lagi sholat menghadap Jerusalem, dan
meskipun dia tidak pernah membuat usaha apapun untuk membebaskan
Jerusalem, tetapi dia tetap seorang Nabi dari Tuhan-nya Ibrahim yang benar dan agama
yang dia sebarkan adalah Agama Ibrahim, Musa, Daud, Sulaiman, dan
al-Masih Putra Maryam! Dan dengan begitu, perubahan Kiblat adalah tanda yang
tidak menyenangkan untuk umat Yahudi keras kepala yang bersikeras menegaskan
bahwa Jerusalem adalah pusat spiritual Agama Ibrahim.
Jika Kemurkaan Tuhan
tidak menimpa Muhammad (shollallahu
‘alayhi wassalam) setelah dia berpaling
dari Jerusalem maka itu berarti seorang Nabi ‘yang benar’ dapat berpaling dari
Jerusalem namun tetap menjadi Nabi ‘yang benar’. Tidak hanya Muhammad (shollallahu ‘alayhi wassalam) tidak mengalami penderitaan akibat ‘berpaling’
dari Jerusalem, tetapi bahkan dia (shollallahu ‘alayhi wassalam) melangkah dengan
sangat meyakinkan mengalahkan umat Yahudi yang bersikeras menegaskan bahwa
mereka adalah ‘umat pilihan’ Tuhan-nya Ibrahim.
Dan dengan begitu,
jelas tidak ada dampak politik dari perubahan Kiblat yang berarti bahwa Islam,
sebagai agama, tidak lagi memiliki kaitan dengan Jerusalem. Bahkan sebaliknya,
al-Qur’an menegaskan bahwa Muhammad (shollallahu ‘alayhiwassalam)
dan orang-orang yang mengikutinya
adalah pengikut-pengikut sejati
Agama Ibrahim.
“(Tanpa
keraguan) Sesungguhnya di antara manusia, orang-orang yang paling dekat
dengan Ibrahim (terdekat dengannya dalam arti mengikuti agamanya), adalah
orang-orang yang mengikutinya, juga Nabi ini (Muhammad) dan orang-orang
yang beriman (beriman padanya dan pada kitab yang diturunkan kepadanya);
dan Allah adalah Teman Pelindung bagi orang-orang beriman.” (al-Qur’an,
Ali Imran, 3:68)
Maksud dari
pernyataan ayat al-Qur’an ini sangat jelas. Orang-orang yang dengan penuh keimanan
mengikuti Muhammad (shollallahu
‘alayhi wassalam) adalah yang berhak
mewarisi Tanah Suci. Adalah takdir Jerusalem untuk mengkonfirmasi
kebenaran ini. Kesempatan
Umat Yahudi untuk Mendapatkan Ampunan Allah Pengubahan Kiblat
bahkan bermakna lebih penting daripada yang dijelaskan di atas.
Ketika umat Yahudi
menyembah ‘anak sapi emas’ saat Musa (‘alayhi salam) berada di Gunung
Sinai, dan ketika mereka mengubah Taurat dan menulisnya kembali untuk membuat
halal hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah, dan ketika mereka
menyombongkan diri tentang bagaimana mereka telah membunuh al-Masih Putra
Maryam, hal-hal tersebut merupakan insiden paling keji dalam pengkhianatan mereka
yang terus menerus terhadap Perjanjian mereka dengan Allah. Allah merespon
semua perbuatan penuh dosa ini dengan suatu pernyataan bahwa mereka memiliki
satu ‘pintu kesempatan yang terbuka’ menuju ampunan Tuhan sehingga mereka
dapat menghindari ‘hukuman terberat’ yang telah Dia siapkan untuk mereka.
‘Pintu kesempatan yang terbuka’ itu adalah Nabi Arab, Muhammad (shollallahu ‘alayhi wassalam) yang menjadi Nabi Terakhir. Jika mereka menerimanya dan
beriman padanya maka mereka dapat memperoleh ampunan
dan kasih sayang
Tuhan. Janji ini terekam dalam al-Qur’an pada ayat-ayat saat Dia menyeru umat
Yahudi dan menyampaikan respon-Nya terhadap dosa-dosa besar mereka dan
pelanggaran-pelanggaran Perjanjian mereka sebagai berikut:
“…
(Allah) berfirman: “Siksa-Ku akan aku timpakan kepada siapa yang Aku kehendaki,
tetapi rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka Aku tetapkan rahmat-Ku
bagi orang-orang yang bertakwa, dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang
beriman pada Tanda-tanda Kami.”
“Orang-orang
yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi, yang (namanya) disebutkan
dalam (Kitab) milik mereka sendiri – Taurat dan Injil – yang menyuruh
mereka berbuat yang makruf (baik dan adil) dan melarang mereka dari yang
mungkar (jahat dan tidak adil); dan yang menghalalkan segala yang baik bagi
mereka dan mengharamkan segala yang buruk (dan kotor) bagi mereka; dia membebaskan
mereka dari beban berat dan penindasan yang menimpa mereka. Adapun
orang-orang yang beriman padanya, menghormatinya, menolongnya, dan
mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang
yang beruntung.” (al-Qur’an,
al-‘Araf, 7: 156-157)
Sangat jelas bahwa
ayat-ayat al-Qur’an di atas menunjuk Nabi Muhammad (shollallahu
‘alayhi wassalam).
Ketika Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) di Madinah, dia melakukan banyak hal yang seharusnya
dengan mudah dapat meyakinkan umat Yahudi dan para Rabi mereka bahwa dia
sesungguhnya adalah Nabi Allah yang benar, dan bahwa dia adalah Nabi yang
mereka nantikan:
● Selama tujuh belas bulan pertama
tinggal di Madinah, dia sholat menghadap Jerusalem.
Dia melakukannya karena itulah arah Kiblat bagi orang-orang yang
beribadah sesuai dengan Agama Ibrahim (‘alayhisalam). Tetapi bagi orang Arab yang melakukan
itu di Madinah berarti membelakangi Ka’bah,
Rumah Allah di Mekah yang dimuliakan oleh setiap orang Arab.
Perbuatan Nabi (shollallahu
‘alayhi wassalam) tersebut cukup untuk
meyakinkan umat Yahudi bahwa dia sesungguhnya adalah Nabi yang benar.
● Tetapi dia melakukan hal yang lebih
dari itu. Dia juga berpuasa bersama umat Yahudi
pada hari-hari ketika mereka berpuasa sesuai dengan aturan puasa Taurat
(dimulai saat matahari terbenam sampai matahari terbenam
lagi). Tidak ada orang Arab yang pernah berpuasa seperti itu dalam
sejarah mereka sebelumnya. Tetapi seluruh komunitas Muslim di Madinah
saat itu berpuasa dengan aturan tersebut. Hal ini seharusnya
meyakinkan umat Yahudi bahwa Muhammad (shollallahu
‘alayhi wassalam) sesungguhnya
adalah Nabi yang benar.
● Akhirnya, peristiwa lain terjadi yang
seharusnya dapat mengakhiri masalah ini untuk
yang terakhir kali. Umat Yahudi membawa kehadapan Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) dua orang yang telah melakukan zina (hubungan seksual antara dua orang di
luar pernikahan). Mereka
bermaksud mengujinya dengan bertanya kepadanya apa yang
seharusnya dilakukan terhadap dua orang itu. Dia bertanya kepada
mereka, hukuman apa yang biasa mereka timpakan. Mereka kurang lebih
menjawab bahwa mereka menghitamkan muka lalu memukul orang
yang melakukan zina
tersebut di depan umum. Kemudian, dia
bertanya apakah hukuman itu mereka dapat dari Kitab mereka. Dia
meminta mereka membawakan Kitab mereka dan membacakannya
(karena dia sendiri tidak dapat membaca atau menulis). Saat mereka
membacakan Taurat, Rabi mereka, Abdullah bin Salam, yang telah
menjadi seorang Muslim, berdiri di samping Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam). Saat pembaca itu sampai pada ayat yang menyebutkan Rajam (dilempari batu sampai mati) dalam
Taurat, dia meletakkan
jarinya di atas ayat itu untuk menyembunyikannya. Abdullah bin Salam
memintanya berhenti membaca dan mengangkat jarinya. Kemudian dia
pun membaca ayat yang menentukan hukuman rajam
bagi pelaku zina. Pembacaan ayat dalam Taurat ini
sangat mempermalukan umat
Yahudi. Mereka telah terungkap sebagai umat yang mengkhianati
hukum sakralnya sendiri dan mencoba menutupi pengkhianatan tersebut.
Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) kemudian memerintahkan agar
dua orang itu dilempari batu sampai mati, dengan begitu, menerapkan
hukuman sesuai Agama Yahudi yang umat Yahudi sendiri tidak
menerapkannya. Hal ini seharusnya cukup untuk sepenuhnya meyakinkan
umat Yahudi bahwa dia sesungguhnya adalah Nabi yang benar.
Setelah tujuh belas
bulan berlalu sejak kedatangan Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam)
di Madinah, menjadi jelas bahwa umat
Yahudi tidak hanya menolaknya sebagai seorang Nabi,
dan menolak al-Qur’an sebagai Firman Allah, tetapi juga berkonspirasi
menghancurkan Islam. Pada saat itulah Allah Maha Tinggi merespon sebagai
berikut:
● Dia mengubah Kiblat (berpaling dari
Jerusalem ke Mekah!), Dia juga menurunkan wahyu
tentang ‘Perang’ (Qital) dan kewajiban ‘Berpuasa’. Ketiga wahyu tersebut
diturunkan pada bulan yang sama, yaitu Sya’ban.
● Dalam proses pengumuman resmi kewajiban
puasa Ramadhan, Allah Maha Tinggi mengubah
Aturan berpuasa yang ada dalam Taurat. Aturan baru adalah
kewajiban berpuasa dimulai saat ‘terbit fajar’ sampai ‘terbenam
matahari’. Dengan demikian, diijinkan makan dan minum dan berhubungan
seksual (dengan istri/suami) selama waktu gelap.
● Akhirnya, Allah Maha Tinggi mengubah
hukuman bagi pezina. Hukuman baru adalah
pencambukan di depan umum! Implikasi pertama
dari perubahan hukum tersebut adalah hukum Yahudi sudah dibatalkan. Aturan
itu sudah tidak berlaku lagi. Tetapi implikasi yang
lebih tidak menyenangkan menjadi jelas, beberapa saat kemudian Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) bermimpi atau mendapat penglihatan yang diturunkan
kepadanya bahwa pelepasan Ya’juj dan Ma’juj telah dimulai.
Dia juga secara
dramatis mengkonfirmasi pelepasan Dajjal Al-Masih Palsu ketika dia pergi bersama
Umar (rodhiyallahu ‘anhu) untuk menemui seorang anak laki laki Yahudi bernama Ibnu
Sayyad yang dicurigai sebagai Dajjal. Pesan bahwa Dajjal sudah dilepas
ke bumi menjadi sangat jelas ketika Umar meminta ijin untuk memenggal kepala Ibnu
Sayyad dan Nabi (shollallahu
‘alayhi wassalam) menolak permintaan tersebut
dengan bersabda: “Jika
dia adalah Dajjal maka kamu tidak akan
mampu membunuhnya. Dan jika dia bukan Dajjal maka membunuhnya adalah
perbuatan dosa yang besar.” (Sahih Muslim)
Jika Dajjal telah
dilepas dan begitu juga Ya’juj dan Ma’juj, maka implikasinya adalah bahwa Zaman
Akhir atau Zaman Fitan
(Zaman dengan Ujian dan Cobaan terbesar)
dimulai pada masa hidup Nabi (shollallahu ‘alayhi wassalam) setelah pengubahan
Kiblat. ‘Pintu kesempatan’ bagi umat
Yahudi untuk mendapatkan
ampunan dan kasih sayang Tuhan telah selamanya tertutup dan hukuman
terbesar dari Tuhan telah disiapkan. (lihat
Bab 12, nomor 7)
Umat Yahudi tidak
akan pernah dapat memenuhi syarat mewarisi Tanah Suci lagi. Satu-satunya
waktu mereka kembali ke Tanah Suci dan menguasainya adalah saat Ya’juj dan
Ma’juj menyebar
ke segala arah dan
dengan begitu menguasai dunia dalam
Tatanan-Dunia Ya’juj dan Ma’juj. Tetapi hal itu menjadi bagian dari Rencana besar Tuhan
untuk umat Yahudi yang akan menerima hukuman terberat dari Tuhan.